Artikel JVGL

Surat Cinta untuk La Viola dari I Bianconeri: Cinta yang Selalu Kau Benci

Dear Fiorentina,

Semoga kau tidak lupa namaku, Juventus atau biasa disebut si Nyonya Tua. Aku tahu, setiap kali namaku disebut di kotamu, dentuman kebencian semakin keras menderu. Kau selalu memandangku sebagai musuh, sebagai pencuri yang tanpa perasaan, mengambil yang tak seharusnya kumiliki. Tapi, dengarkan aku kali ini, karena ini bukan sekadar soal uang atau kekuasaan. Ini tentang cinta. Cinta yang mungkin tak pernah kau pahami.

Ketahuilah sayang, kau selalu menjadi bayang yang tak pernah hilang, seperti api kecil yang ingin kau padamkan, tapi terus membara. Ingatkah semua ini bermula ketika kompetisi Serie A tahun 1982. Ah, tahun itu kita bersua di pentas yang sama, namun hanya ada satu yang pantas duduk di singgasana. Itu adalah aku sang Zebra Turin.

Kau mengira bisa menggapai kejayaan, tapi takdir berkata lain. Di tanah Cagliari, kau menangis karena gol dianulir dan berakhir dengan skor imbang. Sementara aku di Catanzaro memahat sejarah dengan manis, lewat satu gol dari titik putih dengan Liam Brady jadi protagonis. Hasil itu seakan menjadi pisau yang merobek harapanmu dan membuatku meraih bintang kedua. Apa itu salahku, Fiorentina? Tidak. Itu adalah takdir yang berpihak pada yang terkuat.

Kau mengutukku sebagai pencuri, menuduh mencuri mimpimu. Tapi sayang, Scudetto itu bukan dicuri, melainkan direbut dengan tangan yang kokoh dan hati yang berani. Aku tak pernah meminta maaf atas kemenangan kami. Aku tahu, kau juga tak pernah bisa memaafkanku. Setiap teriakan “MEGLIO SECONDI CHE LADRI” yang keluar dari bibirmu hanyalah jeritan pahit dari mereka yang kalah. Tapi, bukankah itu indah?

Perseteruan ini menyakitimu, seperti cinta penuh murka. Kita terikat dalam lingkaran dendam ini. Selamanya bersaing di altar suci Serie A, hanya yang terkuat yang layak berdiri di puncak.

Maju lagi ketika musim 1989/90. Aku merasa melihat dengan jelas betapa kerasnya kebencian itu. Ketika kita kembali berhadapan dalam final Piala UEFA. Dengan keangkuhan, kuhancurkan kembali harapanmu di leg pertama dengan skor 1-3 dan membuatmu terpaksa berjuang di tempat yang tidak kau pilih, Avellino. Bukan salah Juventus, namun ini hasil yang kau tuai karena para pecintamu berbuat onar di Turin sehingga FIGC geram dan memilih stadion netral. Pilihan itu ternyata itu jadi panggung untukku sekali lagi menyaksikan impianmu hancur. Pertandingan berakhir tanpa imbang dan berita buruk buat tim yang dua kali bermain sebagai tamu dan masih harus memperpanjang mimpinya untuk membayangkan tropi dalam semu.

Belum hilang rasa sakit itu, aku menambah garam pada lukamu dengan merekrut Roberto Baggio, sang bintang yang paling bersinar di Fiorentina. Dengan dana 8 juta poundsterling, transfer itu memecahkan rekor saat itu sekaligus memecahkan urat kepala fansmu. Aku tahu betapa amarahmu membara, dengan kerusuhan dan kekerasan yang menyusul, benderaku dibakar, dan jalanan Firenze dipenuhi keringat panas dan air mata. Aku mencuri bukan hanya gelar, tetapi juga mimpi-mimpimu satu per satu.

Balas dendammu hanya sepele bagiku. Beberapa tahun selanjutnya aku langsung paham kenapa kau rela repot memasukkan klausul anti-Juventus dalam kontrak Stevan Jovetic. Setiap langkah Juventus tampaknya hanya semakin memperdalam luka yang ada. Aku pernah berusaha merekrut Jovetic dengan tawaran 25 juta euro, tapi ditolak mentah-mentah. Meski klausul buy-out senilai 40 juta euro disematkan, Fiorentina tetap bersikukuh bahwa Jovetic tak akan pernah bergabung denganku.

Ini adalah perang yang tiada akhir, sebuah balas dendam yang membara dari sebuah cinta yang tidak pernah benar-benar ada. Aku sengaja mengirimkan surat ini sebagai penanda bahwa luka dan kemarahan ini akan selalu ada, seperti cinta yang dikhianati dan kesedihan yang tak pernah berakhir.

(Ilustrasi/X/@burung_kondor)

Benar-benar sekali lagi balas dendam yang kau berikan sangat sepele, karena bintang selanjutnya dengan mudah aku rekrut secara sukarela. Sayangnya, kau tidak lagi bermain dengan akal sehat, tapi sudah menggunakan alam ghaib. Pasalnya, pemain selanjutnya yang kurekrut memang bebas dari klausul anti-Juve, tapi ada khodam antibagus jika bermain di Juventus.

Fede Bernardeschi, Fede Chiesa, Dusan Vlahovic, dan Nico González mereka bukan hanya pemain bagiku. Mereka adalah bintang yang kulihat bersinar di langitmu. Siapa yang bisa menahan diri untuk tidak mendekatkan mereka ke keagungan? Ketika Bernardeschi pertama kali menginjak stadionku, rasanya ingin diberikan panggung yang lebih besar. Apakah dia memenuhi harapanku? Mungkin tidak. Tapi siapa yang bisa memprediksi takdir, Fiorentina? Seperti bunga yang kau sebut layu, kadang bukan aku yang salah, kadang mereka memang tak cocok dengan gemerlapnya panggungku.

Chiesa, ah, Federico. Kau dan aku tahu betapa pedihnya saat dia memutuskan meninggalkanmu. Tapi jangan salah, itu bukan semata aku yang memaksa.

Dia ingin lebih, Fiorentina
Lebih dari sekadar menjadi pahlawan lokal. Dia ingin menjadi legenda di panggung yang lebih besar, tempat di mana sejarah ditulis, dan aku memberinya kesempatan itu. Jika sekarang dia tak seperti yang kau kenal dulu, salahkah aku? Atau mungkin ia terbeban oleh ekspektasi yang begitu besar di atas pundaknya? Kini ia bahagia di Liverpool atau setidaknya itu yang coba ia tunjukan sampai akhirnya hingga tulisan ini dibuat masih saja jadi penghangat bangku cadangan.

Lalu Vlahovic. Apakah salah jika aku ingin memeluk talenta sebesar dia? Di bawah sinarmu, dia adalah monster di depan gawang. Tapi di sini, di dalam sistemku yang kompleks, dia tak bisa bermain dengan kebebasan yang sama. Itu bukan karena aku tak mencintainya, Fiorentina. Tapi karena di sini, semuanya lebih besar, lebih sulit, lebih menuntut. Mungkin kau melihatnya sebagai investasi yang gagal, tapi bagiku, dia masih bintang yang sedang mencari cara untuk bersinar di tata surya yang lebih luas.

Kini Nico Gonzalez tengah mengundi nasibnya bersamaku. Digadang sebagai pengganti Chiesa, semoga ia bisa jadi pemutus kutukan pemain yang diambil dari rumah La Viola. Kau marah ketika kubeli pemainmu, tapi kau dengan tangan terbuka menerima pinangan Melo, Arthur, dan Moise Kean—yang menurutmu “gagal” di sini—dan kau biarkan mereka bersinar di tempatmu. Itulah ironi dari cinta kita, Fiorentina.

Hal-hal yang tak bisa kugunakan, bisa kau manfaatkan. Kau selalu punya ruang bagi mereka yang tersingkir di tempatku. Seolah-olah kau ingin membuktikan bahwa apa yang gagal di Juventus bisa berhasil di kotamu. Dan ya, terkadang kau benar. Tapi itu tak mengubah kenyataan bahwa aku adalah rumah bagi mereka yang berani bermimpi lebih besar.

Aku dengar bosmu berkata, “Di Italia, cuma Juventus yang punya duit.” Mungkin benar, mungkin aku ini terlalu kaya. Tapi kau harus paham, Fiorentina, aku tak hanya mengandalkan uang. Aku juga mengandalkan daya tarik. Aku adalah tempat di mana trofi besar diperebutkan, di mana pemain-pemain terbaik ingin membuktikan diri. Dan kau tahu betul, dalam sepak bola, mereka yang tak bisa membeli bintang, akhirnya hanya bisa menyaksikan dari jauh.

Kau membenciku karena aku bisa memberikan apa yang tak bisa kau tawarkan. Tapi bukan berarti aku tak punya perasaan. Setiap kali aku ambil pemainmu, aku tahu akan meninggalkan luka. Tapi cinta, Fiorentina, kadang tak bisa dipahami.

Kau tidak akan pernah mencapai levelku, wahai Fiorentina. Aku telah menjadi tulang punggung tim nasional berdekade-dekade lamanya, sementara engkau hanya bisa memeram benci yang tak jelas juntrungannya. Tetaplah menjadi kota artistik yang kaya akan sejarah seni dan pergerakan, sepak bola biar menjadi urusanku.

Aku mungkin tak pernah jadi kekasih yang kau inginkan, tapi aku adalah kenyataan yang harus kau hadapi. Dendammu mungkin tak akan pernah padam, tapi cintaku untuk pemain-pemain terbaikmu akan selalu ada.

Dari tim yang kau benci,
Juventus.

JVGL

Fino alla fine, forza uhuuuy~