Artikel JVGL

Juventus yang Dominan, Tipe Kepribadian yang Suka Cari Masalah dan Tantangan  

Penulis: Paundra Jhalugilang

Bisa disapa di akun twitter: @paundrajuve

Pernah mendengar tes kepribadian DISC? Sebuah tes untuk mengetahui karakter, perilaku, dan kepribadian kita yang merupakan kepanjangan dari Dominance, Influence, Steadiness, dan Compliance. Penilaian tersebut merupakan temuan dari psikolog William Moulton Marston pada tahun 1928 yang kerap dijadikan sebagai salah satu tes ujian masuk perusahaan.

Ada empat tipe kepribadian dalam DISC. Dominance (dominan) cenderung memiliki sikap mandiri, tegas, berjiwa pemimpin, ambisius, kompetitif, suka mencari tantangan, melakukan berbagai cara demi mencapai tujuan, dan tidak suka ketenangan. Biasanya orang tipe D ini cocok jadi pengusaha, pemimpin perusahaan, direktur, pejabat penting, atau bahkan ketua PSSI/FIGC sekalipun.

Influence (intim) cenderung memiliki sikap percaya diri, ramah, menarik, gampang mempengaruhi orang, dan mudah bergaul. Cocok buat jadi sales dan marketing.

Kemudian steadiness (stabil/seimbang), cenderung menyukai keseimbangan, konsisten, malas berkonflik, penyabar, santai, ogah cari masalah, maunya hidup lurus-lurus aja, dan stabil. Biasanya cocok jadi pegawai swasta, PNS, atau pekerjaan-pekerjaan yang santai gak banyak tuntutan.

Terakhir adalah compliance (cermat), cenderung memiliki sikap tekun, sistematis, patuh, teliti, cermat, fokus pada ketepatan dan kualitas. Biasanya cocok buat jadi orang finance, akuntan, hingga IT atau web programmer.

Tiap orang bisa memiliki dua sampai tiga tipe kepribadian, tidak tertutup hanya satu tipe. Meskipun jarang ada yang sampai memiliki empat tipe sekaligus.

Keempat tipe ini pun saling melengkapi. Sebuah perusahaan tanpa orang dominance, jadinya enggak terarah dan enggak berambisi. Tanpa orang influence, jadinya sepi enggak berwarna. Tanpa orang steadiness, jadinya ribut terus karena tidak ada penyeimbang. Tanpa orang compliance, jadinya berantakan.

Lalu apa kaitannya dengan Juventus? Di sini saya mencoba menebak-nebak kalau Juventus sebagai seorang individu yang bisa memiliki tipe kepribadian DISC itu tadi. Satu hal yang saya yakin, Juventus ini adalah tipe orang yang dominance.

Mengapa begitu? Sangat terlihat jelas bahwa Juve adalah klub tersukses di Italia. Mereka benar-benar mendominasi gelar-gelar yang ada di Italia, bahkan nyaris tak terkejar oleh duo pesaingnya, AC Milan dan Inter Milan.

Segudang prestasi menandakan jiwa kompetitifnya Juventus dan enggak mau kalahan. Target setiap tahunnya jelas, yaitu juara, meski kadang punya target realistis hanya lolos Liga Champions. Tapi, pernah kah Juve menargetkan “yang penting 10 besar, aman”. Tidak ada. Itu adalah tipe orang-orang steadiness yang senang berada di zona nyaman.

Mungkin, tipe tim-tim steadiness ini cocok seperti Udinese, Bologna, Fiorentina, atau Sassuolo yang sekadar aman tidak terdegradasi, sukur-sukur bisa lolos Liga Europa. Sebaliknya Juve pun sangat berambisi, lapar akan gelar, serta berjiwa pemimpin. Sudah tipe D sekali itu Juventus. No debate.

Sayangnya, kelemahan dari tipe orang dominance ini memang berani mengambil risiko dan melakukan segala cara demi mencapai tujuannya, termasuk jika harus menerobos batasan dan melanggar aturan. Pokoknya sikat aja dulu, kalo perlu tabrak aja aturannya, dihukum belakangan enggak masalah yang penting sudah mencoba.

Ada memang tipe orang yang seperti itu, hobinya cari masalah. Makanya bakal berseberangan dengan orang tipe compliance, yang cenderung patuh terhadap aturan, izin dulu, ngecek aturannya dulu, baru kemudian dikerjakan.   

Nah, kelakuan dominance yang hobi ambil risiko dan menerobos batasan ini Juve banget. Kita tahu bahwa Juve adalah tim pertama yang berani membangun stadion sendiri bermodal gede. Bahkan sampai mengganti logo tradisional mereka berubah frontal menjadi lebih modern.

Kita semua tahu, Juve memang sudah beberapa kali kena masalah. Yang paling parah tentu saja Calciopoli.

Kasus Calciopoli ini adalah gambaran betapa Dominance-nya Juventus karena berani bermain di wilayah abu-abu. Ketika itu, tidak ada aturan yang berlaku tentang menjalin hubungan dengan koordinator wasit. Juve berani melakukannya, mengatur-atur wasit, complaint dengan mudahnya, yang kemudian diikuti banyak tim lainnya.

Awalnya pengadilan bingung mendakwakan kasus ini menggunakan pasal apa. Soalnya, tidak ada satupun bukti yang menegaskan Juve mengatur skor atau pertandingan. Yang ada hanyalah bukti-bukti bagaimana Luciano Moggi berusaha mempengaruhi koordinator wasit, untuk mengatur wasit yang akan memimpin sejumlah pertandingan. Akhirnya Juventus dan Moggi hanya kena pasal code of conduct, dan akhirnya, Moggi dinyatakan tidak bersalah beberapa tahun kemudian.

Juve merasa enggak salah, karena memang tidak ada aturan mengenai itu. Namun, yah, bisa dibilang itu area abu-abu yang orang bisa saja mencurigainya sebagai sebuah pelanggaran karena dapat terindikasi conflict of interest.

Tak berhenti sampai di situ ulah keberanian Juventus yang berani ambil risiko dan main di wilayah abu-abu. Juve “berinovasi” dalam melakukan transfer pemain. Berupaya mengakali transfer dengan metode nyicil atau menyertakan pemain muda dalam transaksi. Hal ini akhirnya pun lumrah dilakukan tim-tim Italia lainnya karena efektif dalam menjaga arus kas.

Juve merasa aksinya itu aman-aman saja karena tidak ada aturan yang mengaturnya. Juve berani ambil risiko itu. inilah hasil dari risiko yang mereka ambil. Akhirnya berbalik jadi sebuah hukuman dan jadi dituduh macam-macam.

Bukan cuma itu, mantan presiden Andrea Agnelli, pun terang-terangan berani menyuarakan European Super League, bahkan sampai mengancam-ancam UEFA. Ya, namanya juga tipe dominance, hobinya memang cari masalah, tidak suka dengan ketenangan.

Juve bukanlah tipe orang yang “Ya udah gak papa, gaji 8 juta sebulan udah cukup buat hidup, yang penting bahagia.” Bukan seperti itu. Juve maunya “Target gaji gua itu 100 juta sebulan, tahun depan mesti 200 juta, kalau perlu lebih!”.

Buat fans rival yang sering berucap, “ini tim hobi banget cari masalah, bukannya tobat” saya bisa pahami dan terima. Kita akui saja bahwa memang pada dasarnya, Juventus ini kelewat dominance, selalu mencari tantangan baru walau berisiko sekalipun yang akhirnya jadi masalah. Bukan Juve namanya kalau anteng-anteng aja.

Kalau dibilang curang, saya rasa juga tidak ada tim yang jujur-jujur amat di industri sepak bola yang makin modern saat ini. Cuma bedanya, yang lain masih setengah-setengah dan takut-takut, Juve mungkin lebih berani yang akhirnya jadi ceroboh dan kelewatan. Tapi ya itulah konsekuensi dari risiko yang sudah diambil.   

Saya pun bisa berbalik berkomentar, “Yah, mungkin tim kalian yang kelewat steadiness atau compliance” tidak berani ambil risiko, makanya prestasi nambahnya sedikit-sedikit :D.

Yah. Bagaimanapun ini hanya sudut pandang berdasarkan kajian teori psikologi yang saya ketahui. Yang penting bisa saling memahami satu sama lain dan menghargai perbedaan pilihan.

Fino Alla Fine, Forza Juventus!

JVGL

Fino alla fine, forza uhuuuy~