Transfer Vlahovic yang (Seharusnya) Biasa Saja
Bursa transfer pemain berakhir sudah pada 1 Februari lalu. Juventus secara resmi sudah mendatangkan tiga pemain pada bursa transfer kali ini, yaitu Dusan Vlahovic, Denis Zakaria, dan Federico Gatti.
Nama Dusan Vlahovic tentunya menjadi perbincangan publik dibandingkan Zakaria dan Gatti. Sementara nama terakhir dibeli Juventus lalu dipinjamkan kembali ke klub asalnya Frosinone hingga akhir musim ini.
Sebagai pemain berusia 22 tahun, Vlahovic sudah menunjukkan kemampuan luar biasa sebagai striker haus gol. Hal ini sudah ia tunjukkan saat berseragam Fiorentina. Silakan cari sendiri berapa jumlah gol yang sudah ia buat di Fiorentina. Yang jelas, sejak musim panas lalu namanya sudah sering dikaitkan dengan beberapa klub besar Eropa, tapi Vlahovic masih bertahan di Firenze.
Performanya yang stabil saat musim berjalan membuat nama Vlahovic semakin santer dikabarkan berganti klub. Perburuan Vlahovic semakin mengerucut ke dua klub, yaitu Arsenal dan Juventus. Dua klub ini memang sedang membutuhkan seorang striker haus gol.
Saya kurang tahu pasti apa yang terjadi di Arsenal. Yang jelas beberapa kali menyempatkan diri menonton pertandingan mereka, saya merasa Arsenal memang membutuhkan striker selain Aubameyang dan Lacazette untuk meningkatkan daya gedor London Merah itu. Nama pertama bahkan akhirnya lebih memilih hengkang ke Barcelona di akhir jeda transfer.
Di sisi lain, Juventus juga sangat membutuhkan Vlahovic. Selepas kepergian Cristiano Ronaldo, lini depan Juventus benar-benar membutuhkan striker yang haus gol. Berharap Morata menjadi seorang prima punta saja sudah aneh, eh manajemen Juventus malah mendatangkan kembali Kean—yang kadang bingung ke mana dia harus berlari di lapangan. Belum lagi ditambah performa Dybala yang naik turun dan cederanya Federico Chiesa. Juventus pun harus bergerak cepat mendapatkan striker pada bursa transfer musim dingin kali ini.
Tarik ulur transfer pun terjadi. Singkat cerita, meskipun kabarnya Arsenal memberikan penawaran terlebih dahulu (baru kemudian tawaran Juventus datang) pada Fiorentina, Vlahovic memutuskan berlabuh ke Si Nyonya Tua dengan mahar mencapai 75 juta Euro. Mengeluarkan dana besar untuk winter transfer memang bukan kebiasaan Juventus. Namun, kali ini kondisinya mendesak dan kebetulan pemain pun mau.
Que sera, sera.. Nomor 7 pun dikenakan Vlahovic di Juventus.
Berlabuhnya Vlahovic ke Juventus tentu menarik banyak perhatian media. Hal ini kemudian memancing banyak percakapan di media sosial (medsos). Tentu banyak tifosi Juventus yang senang dengan ini. Namun, ada juga yang skeptis. Satu hal yang menarik, saga ini juga ikut ‘membenturkan’ antar fans Juventus dan Arsenal.
Banyak memang fans Arsenal yang legowo, tapi tak sedikit juga yang ‘ketrigger’ di medsos. Terlebih saat teman-teman fans EPL dan Serie A lain juga ikut mengomentari. Hal ini akhirnya membuat keributan di lini masa medsos. “Keributan” ini terus berlanjut bahkan kembali ramai satu minggu setelah proses transfer terjadi yakni ketika Vlahovic mencetak gol di laga debut melawan Verona.
Memang saga transfer Vlahovic ini menimbulkan banyak cerita. Padahal menurut saya, ada beberapa hal dari saga transfer Vlahovic ini harusnya disikapi biasa saja:
Pertama: Pada sepakbola modern, transfer pemain adalah keniscayaan.
Pada sepakbola modern, transfer pemain adalah hal yang lumrah. Sebagai sebuah industri, tentu perputaran uang yang besar membuat transfer pemain antar klub adalah sebuah keniscayaan. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi transfer seorang pemain dari satu klub ke klub lain: baik itu besarnya penawaran, durasi kontrak, hingga keinginan pemain itu sendiri terhadap masa depannya.
Para pemain profesional sepakbola seperti Vlahovic pasti sudah memahami ini. Semua sudah pasti ada pertimbangannya. Terlebih lagi dalam kondisi Vlahovic, Fiorentina sebagai klub pemilik juga dikabarkan dalam posisi yang “lemah”. Vlahovic enggan memperpanjang kontraknya yang tertinggal 18 bulan di Florence sehingga membuatnya memiliki posisi yang lebih “bebas” untuk memilih masa depannya.
Jadi jelas dalam kondisi ini, Vlahovic sendirilah yang memang memilih Juventus. Karena memang pilihan, tetap harus dihormati. Hal serupa juga pernah saya rasakan saat salah satu pemain yang saya kagumi, Robin Van Persie batal berlabuh di Juventus. Padahal kabarnya si pemain sudah mencari ‘rumah kontrakan’ di Turin, tapi akhirnya ia malah memilih hijrah ke Manchester.
Pemain datang dan pergi adalah hal biasa di sepakbola modern, tidak ada yang berbeda.
Kedua: Jangan Terjebak Romantika Loyalitas
Memang kita masih sering terjebak dengan romantika loyalitas pemain sepakbola di era lalu. Pemain yang memilih bertahan di satu klub, dianggap memiliki nilai lebih dibandingkan pemain yang berjuang mencari klub yang dapat membawanya pada prestasi tertinggi. Padahal belum tentu nilai itu selalu sama.
Seperti saya jelaskan sebelumnya, transfer pemain di era modern adalah hal yang lumrah terjadi. Loyalitas pun belum tentu saat ini menjadi penilaian utama. Era saat ini memungkinkan pemain memilih klub yang menurutnya lebih bisa membawanya ke prestasi tertinggi. Hal ini manusiawi lantaran atlet apapun pasti ingin meraih prestasi tertinggi.
Hampir semua pecinta sepakbola pasti tak asing dengan romantika transfer seorang legenda Roberto Baggio. Kisah transfernya seolah penuh dengan rasa haru dan keterpaksaan. Baggio seolah dijadikan simbol bagaimana transfer membuat si pemain tersebut justru tidak bahagia, sebagaimana ia menolak untuk menendang penalti untuk Juventus pada 7 April 1991.
Namun, di balik itu semua, sejarah mencatat justru di Juventus Baggio merasakan puncak kariernya. Scudetto, Coppa Italia, Piala UEFA, dan tentu penghargaan Ballon D’Or dirasakan Baggio saat berseragam Juventus. Kecuali Scudetto (yang juga ia dapatkan di Milan), Baggio tak dapat lagi mengulang prestasi serupa dengan apa yang dia dapatkan di Juventus. Apalagi semua prestasi itu belum tentu bisa Baggio dapatkan jika dia memilih tetap ‘loyal’ di Fiorentina. Lagian kalau ada sempat, silakan lihat cuplikan gol-gol yang dicetak Baggio di Juventus. Dia selebrasi-selebrasi saja, tuh.
Selain itu, meski rivalitas Juventus-Fiorentina ini jadi begitu didramatisasi, data dalam jendela transfer justru memperlihatkan betapa dua klub ini begitu mesra. Setelah saga transfer Baggio, kedua klub setidaknya mencatatkan 34 kali transaksi pemain di berbagai jenjang. Hal ini memperlihatkan meskipun fans, media, bahkan terkadang pemain sendiri membuat rivalitas seolah Juventus-Fiorentina begitu dramatis, toh keduanya akrab saja tuh kalau sudah soal cuan.
Ketiga: “So who knows what the future holds?”
Berdasarkan poin pertama, saya sebagai tifosi Juventus pun menganggap biasa saja proses transfer Vlahovic ini. Sepakbola bukan seperti cerita novel maupun film. Cerita di sepakbola akan terus berlanjut dan kita tidak tahu pasti apa yang terjadi di depan.
Bisa jadi Vlahovic sukses di Juventus, bisa juga tidak. Bisa jadi sekarang memang Vlahovic memilih Juventus, siapa yang tahu ke depan ia akan memilih pindah? Semua bisa terjadi.
Terlebih banyak faktor yang dapat mempengaruhi performa seorang pemain di lapangan, tekanan publik salah satunya. Bermain di Juventus dan Fiorentina tentu membawa atmosfer yang berbeda. Mencetak dua gol di satu laga, kemudian tak mencetak lagi di dua laga berikutnya mungkin tak mengundang cibiran di Firenze. Tapi percayalah, di Juventus tak akan menerima itu, apalagi Vlahovic digadang-gadang sebagai seorang prima-punta.
Vlahovic yang ‘cuma’ bikin satu gol di laga debutnya saja masih mendapat koreksi dari pelatih, apalagi fans.
—
Saga transfer ini memang tak sedramatis kisah Baggio atau transfer lainnya, tapi memang menarik untuk dibahas.
Kegagalan Arsenal mendapatkan Vlahovic tak akan mengurangi nilai mereka sebagai salah satu klub berpengaruh di Inggris dan Eropa. Juga belum tentu pula Vlahovic bisa langsung sukses di Juventus. Dia harus bekerja keras untuk itu. Jadi, mari kita nikmati saja.