Artikel JVGL

Sebuah Perenungan : Antara Juventus dan Stoisisme, Apa Itu?

Penulis: Yan Setia Adi

Salah satu latihan stoa yang cukup baik adalah dengan menjadi suporter Juventus, setidaknya untuk saat ini.

Musim pandemi 2020/2021 telah merenggut banyak hal dari kita semua. Untuk saya, kebiasaan berkegiatan di luar rumah seperti mendaki gunung dan berkemah benar-benar berhenti selama. Dua hobi tersebut—yang kini berkembang menjadi kebutuhan—tentu mempengaruhi aspek fisik, mental, dan spiritual saya.

Pendakian gunung dan berkemah adalah dua aktivitas yang kontemplatif. Pada saat itulah saya bisa sangat fokus merenungkan banyak hal dengan suasana rekreatif. Harus diakui, sejak saat pandemi produktivitas kerja menurun, stres yang kadang suka menghampiri, dan menjadikan diri ini sedikit anti-sosial. Separuh hidup saya seakan-akan hilang.

Ini belum membahas hal yang sangat penting yang hingga sekarang belum terpecahkan bahkan sejak pandemi belum melanda yakni mencari jodoh. Mungkin saya harus mencoba Tinder atau sejenisnya *huaduh.

Tiga bulan masa pandemi berlangsung, saya kemudian berpikir untuk dapat aktivitas yang tidak menuntut banyak hal dan keluar rumah. Akhirnya keluar ide untuk kembali membuka-buka buku dan membacanya.

Saya adalah kutu buku sejak SD sampai SMA. Di masa SMA perpustakaan adalah destinasi utama untuk membaca buku novel fiksi dan ilmu sosial. Saking intensnya membaca buku sejarah, guru mata pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Kewarganegaraan tidak kurang-kurangnya memuji karena hafal persis tentang kronologi sejarah tertentu.

Di perpustakaan itu jugalah saya untuk pertama kalinya membaca novel 18+ di usia yang masih belum cukup umur yakni sekitar 16 tahun.

Setelah menimbang, mengingat, dan memperhatikan beberapa rekomendasi dari referensi Youtube maupun lini masa Twitter, saya akhirnya memilih buku yang membahas aliran filsafat kuno : stoisisme (stoicism/stoa). Stoisisme adalah filsafat yang mengedepankan penerimaan, pengendalian pikiran (apa yang dalam kuasa dan di luar kuasa, cara berpikir lurus) serta menghilangkan kemelekatan diri.

Alasan memilih pembacaan stoisisme adalah keinginan untuk menjalani hidup lebih tenang, selaras dengan logos besar (dalam istilah lain bisa dikatakan sebagai takdir Tuhan/Qadarullah).

Dalam level stoisisme tertentu, seseorang akan menerima segala apa yang datang dari Tuhan dengan sebagaimana adanya. Menerima penderitaan tanpa mengeluh, menerima kebahagiaan dengan syukur, secara konsisten. Menerima karena yakin bahwa logos besar/takdir memiliki jalan yang lebih jauh (hikmah) daripada yang terlihat saat ini.

Lebih jauh mendalami stoic, ternyata saya juga menemukan bahwa penerimaan akan membawa keterhubungan manusia dengan Tuhan secara total.

Ibarat menjadi seorang pemain dalam suatu orkestra besar, tugasnya hanya menerima dan memainkan notasi yang diberikan dengan tujuan agar menciptakan nada-nada harmoni indah. Alasan yang indah memang, terlebih setelah putus dengan pacar dua bulan sebelumnya *stiker nangis*

Pembacaan dan latihan stoic masih berjalan hingga tulisan ini diterbitkan. Hasilnya? Hidup saya kini jauh lebih baik bahkan dibandingkan sebelum pandemi. Saya mulai bisa menerima apapun yang datang tanpa ekspresi emosional yang meledak-ledak, pikiran lebih objektif, dan berhati-hati.

Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah latihan untuk menjadi seorang stoa sangat akrab dengan penderitaan. Banyak kepahitan yang akan benar-benar dirasakan dan dengan segenap kemampuan emosional-spiritual diolah menjadi suatu penerimaan untuk menghasilkan reaksi yang selaras dengan alam/nondestruktif. Salah satu latihan stoa yang cukup baik adalah menjadi suporter Juventus.

Ya benar, menjadi suporter Juventus akhir-akhir ini cukup menderita. Sudah sering main di jam dini hari, permainannya tidak sehat buat jantung, belum lagi disentil tifosi dari tim lain.

Di media sosial bertebaran perdebatan sengit, melelahkan, dan tidak ilmiah. Bahkan banyak juga yang mengandung sesat berpikir (logical fallacy) seperti menyerang pribadi (ad hominem) atau penarikan kesimpulan yang terlalu dini. Tentu dibumbui dengan semangat kebencian dan sumpah serapah serta kata-kata beracun. Hal yang demikian tentu tidak menyehatkan secara rohani.

Sudah jomblo, dihajar sampai lelah di kantor/kampus, ditambah melihat lini masa yang begitu memuakkan. Bayangkan berapa banyak energi, waktu, dan kuota internet yang dihabiskan untuk memelihara kebencian dan penyakit batin. Sebuah paket latihan yang komplet bukan?

Ide untuk membuat tulisan ini sebenarnya muncul saat Juventus menerima hasil minor melawan Hellas Verona (musim lalu). Sempat saya mengurungkan niat untuk mewujudkannya ketika performa Juventus kembali naik di 2 pertandingan setelahnya.

Namun tidak disangka, sebuah pukulan telak di Liga Champions menghujam hati Juventini sejagad raya saat bersua FC Porto. Betapa kita disuguhi pertandingan yang menguras emosi dan mengancam kesehatan fisik-mental dari sebelum subuh hingga fajar menyingsing.

Saya sendiri merasa hampa saat itu. Tidak sedih, tapi sedih. Satu hari yang lambat, gloomy, dan mellow. Mungkin saking terpukulnya sampai diri sendiri bingung bagaimana sewajarnya merespons kekalahan itu.

Sebelum musim ini pun demikian, urusan transfer pemain pasti bikin jengkel. Transfer Manuel Locatelli yang harus diselesaikan dalam sekian ronde pertemuan dengan manajemen Sassuolo. Mattia de Sciglio dan Rugani yang kembali dari masa pengasingan bisa bikin fans kembali pesimis.

Performa Lord Berna (Bernardeschi) juga memancing perdebatan antara haters, semi haters dan barisan pendukungnya. Ditambah lagi suara serak dari fans klub yang baru kembali ke Liga Champions. Sudah jumawa, ditambah lempar olok-olok 9x gagal final. *stiker pengen tak hiiiih*

JVGL

Fino alla fine, forza uhuuuy~

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *