Artikel JVGL

JVGL Adalah Benteng Terakhir

Ilustrasi by: Burung Kondor

Usia sudah kepala tiga, tanggung jawab saya sebagai suami dan bapak pun sedang tinggi-tingginya. Hampir tiap harinya saya harus menempuh jarak sekira 40-50 km (tergantung dari jalur mana yang dilewati) dari rumah yang masih mengontrak untuk mencari rezeki di tempat bekerja demi menghidupi keluarga kecil saya. Tanpa bermaksud mengais iba—of course i love my fucking life—hal-hal tersebut kalau diresapi, sering membuat lutut saya lemas dan iman pun rontok.


Penyakit kurang bersyukur itu nyata adanya, kawan. Ia sangat dekat seperti sudah tertanam di pembuluh darah kita. Padahal, dalam hal duniawi kita disuruh menengok yang di bawah kita. Tapi, sekali lagi, saya pikir itu tidak lantas membuat hak untuk mengeluh (sesekali) itu menjadi sesuatu yang dilarang. Menurut saya, mengeluh atau mengumpat, bisa saja “baik” ketika tujuannya untuk melepas penat, mendinginkan kepala, dan tentu saja mendapat feedback konstruktif, jenaka, atau apapun itu sesuai dengan gaya bahasa si lawan bicara kita.


Nah, long story short, masuklah Juventini Garis Lucu (JVGL) ini ke rutinitas saya sejak akhir 2019. Rutinitas yang berawal dari “kerelaan” untuk menjadi peserta Kuis Kejar Jersey demi mendapatkan jersey dari klub idola. Dari sanalah, petualangan di rimba WhatsApp Group (WAG) perlahan mulai menggerogoti keseharian saya. Jujur saja, saya sering lupa waktu bahkan kewajiban jika sudah asyik ngobrol di sana. Belum lagi momennya juga pas dengan jatuhnya Juventus dari singgasana yang diduduki nyaris selama satu dekade. Artinya apa? bahan umpatan tidak akan habis!


Saya yang mulai getol mengikuti mixed martial arts atau tarung bebas, utamanya yang dihelat Ultimate Fighting Championship (UFC), sedikit demi sedikit mulai rujuk kembali dengan dunia per-Juventus-an. Padahal, saya hampir merelakan dunia bal-balan ini di dalam bilik kenangan.
Saya sendiri aslinya mulai lelah mengikuti berita-berita maupun informasi, melahap artikel-artikel, memelototi beragam video di Youtube lantaran sudah tak lagi tinggal di Jawa. Di Jogja atau Surabaya, saya bisa menyeriusi aktivitas-aktivitas bersama teman-teman Juventus Club Indonesia (JCI), mulai dari nonton bareng (nobar) sampai main futsal. Maupun mulai dari sekadar nongol sewaktu rapat persiapan gathering, sampai ikut ke Stadion Utama Gelora Bung Karno untuk menyaksikan Gigi Buffon cs berlaga meladeni Tim Indonesia All Star. Semangat menonton itu linear dan diimbangi aktivitas fisik di komunitas. Jadi semua hal tersebut tampak klop. Saya seperti berada di puncak dunia.


Namun, keberadaan saya dari puncak dunia itu perlahan-lahan turun dengan teratur. Ya, saat itu saya berhasil mengakhiri status long distance relationship yang penuh derita untuk dapat bersatu dengan istri di Lombok. Ritual-ritual yang soal ke-Juventus-an yang bisa saya lakukan, mulai berguguran secara brutal saat menyeberang ke Lombok. Situasi ini berbeda saat saya tinggal di Surabaya, Jawa Timur, sewaktu bekerja di perusahaan rokok, apalagi ketika kuliah di Jogja.

Iklan dulu gais

Lalu, ketika sudah mengakhiri derita long distance relationship dengan istri di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) ritual-ritual semacam itu mulai berguguran secara brutal. Di Lombok sudah tidak bisa lagi seperti di Surabaya saat saya masih bekerja di perusahaan rokok, apalagi saat masih kuliah di Jogja.

Namun, apa mau dikata, Tuhan sudah menitipkan seorang istri cantik dan anak imut yang harus saya perhatikan dengan otak 90 persen fokus. Ruang untuk hal-hal lain sangat kecil, ya mungkin hanya sekitar 10 persen dari keseharian lah. Jangankan pergi nobar, belanja ke **mart saja saya harus segera cepat balik ke rumah. Kira-kira begitulah, walau mungkin lebay sedikit sih.


Karena itu, hadirnya JVGL—terutama KKJ—ini sungguh fatal dan vital untuk menjadi “benteng” dari terjangan usia paruh baya, yang sudah disesaki dengan cicilan dan tanggungan. “Agenda-agenda” di JVGL seperti vitamin. Ia membantu pikiran ini tetap ON karena tidak ada hal yang lebih nikmat dibandingkan membicarakan tim idola dengan orang-orang yang juga punya passion sama besar seperti diri kita.


Secara fisik, saya mungkin hanya menyaksikan Juve berlaga via layar Android, yang saya yakini, sebagian besar dari Anda juga seperti itu. Tapi, obrolan-obrolan di WAG itu sudah bisa saya anggap pengganti tatap muka dengan sesama partisipan nobar JCI. Apalagi ditambah bumbu persaingan memperebutkan jersey. Sungguh tidak membosankan mengulang-ulang psywar yang sama menjelang, saat, atau sesudah laga, bahkan ketika update poin diumumkan per giornatanya. Rasanya syahdu sekali.


Saya menikmati setiap ketikan dari para rekan-rekan yang juga menjadi kompetitor di chat WAG itu. Bara api di dada itu sontak tetap berkobar. Mau tidak mau, saya harus tetap update berita tetang Juve dong, baik lewat media sosial (medsos) atau apapun agar tetap punya bahan fresh saat bertarung gagasan, beradu ide, atau bertukar lelucon dengan jamaah KKJ.
Mari tetap jaga kewarasan dan kejenakaan ini. Jangan tahan umpatan, keluarkan selagi ada yang mendengar/membaca. Semoga KKJ ini tetap berlangsung seperti ajang pencarian bakat di televisi : bikin terus sampai belasan season.


Pesan saya, sebagai seorang jamaah KKJ biasa (karena tidak mungkin dapat jersey), kepada Mas Arief Hidayat sebagai co-founder cuma satu : terus besarkan JVGL, ya, Rief. Salam hangat This Team is Untrainable.
Alfan Suhandi, peserta KKJ Season 1, 2, dan seterusnya, bisa ditemui di @alfansuhandi

Desa Jatisela, Kec. Gunung Sari, Kab. Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB)
Diketik Jumat malam, 17 Desember 2021, diupload beberapa waktu kemudian.

JVGL

Fino alla fine, forza uhuuuy~

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *