Artikel JVGL

Juventus & Perasaan yang (Tidak) Selalu Menentu

Ilustrasi by Burung_Kondor

Jatuh cinta. Satu hal manusiawi yang dulu sering saya rasakan, meskipun lebih banyak tak berbalas. Jatuh cinta itu menyenangkan, tetapi tidak jarang menyakitkan. Di tulisan kali ini, saya tidak akan menceritakan kisah cinta saya dulu. Saya dulu pernah berjuang menyatakan cinta sebanyak 10 kali, tetapi mendapat penolakan 12 kali. Sedih sih, tapi ya itulah masa lalu.


Jatuh cinta tidak melulu kepada pasangan. Kita bisa jatuh cinta pada apapun. Selain terhadap istri, tentunya saya juga jatuh cinta dengan sebuah klub sepakbola Italia yang sudah sangat mashyur dengan jersey hitam-putih sebagai ciri utamanya (meskipun saya lebih suka jersey mereka yang berwarna pink beberapa musim lalu). Tentu bukan Udinese klub yang saya maksud. Bukan pula Siena yang kini masih terjerembab di Serie C. Juventus, La Vecchia Signora, klub yang bisa membuat saya jatuh hati dengan segala prestasi dan peristiwa lain (dibaca: kontroversi) yang seringkali hadir.


Mencintai Juventus dari akhir tahun 1990-an (seingat saya menjelang akhir era Orde Baru), hingga saat ini, dan semoga sampai selamanya, membuat hidup saya menjadi sering hitam dan putih. Seperti ketika saya berkesempatan menonton pertandingan dua klub elite tanah Italia, Juventus dan klub ibu kota, AS Roma. Perasaan saya sontak terhenyak ketika melihat Tammy Abraham dapat menjebol gawang Juventus dengan mudah dan cepat. Melihat Juventus bisa unggul saja kadang muncul kekhawatiran jika akhirnya Bianconeri mengalami kekalahan. Apalagi kalau Juventus harus kebobolan di menit awal.


Tidak berselang lama, perasaan kembali membuncah ketika anak muda Argentina andalan Kota Turin mampu menyamakan kedudukan.Sebagai Juventini, tentu saya pun ingin Juventus meraih tiga poin di pertandingan kali ini demi memperbaiki peringkat dan juga menjaga gengsi. Hal itu mengingat AS Roma bukanlah klub kemarin sore. Mereka juga ditangani salah satu pelatih bertangan dingin di Eropa. Ternyata, keinginan manusia tidak selalu langsung dikabulkan oleh Sang Pencipta. Juventus akhirnya tertinggal dua gol hingga 60 menit jalannya pertandingan.


Perasaan saya semakin tidak menentu. Apakah Juventus akan kalah (lagi)? Apakah tidak ada kesempatan bagi Juventus untuk mendapatkan poin? Apakah saya ganteng? Beribu tanya berkecamuk dalam hati. Hanya dalam selang beberapa menit, Tuhan seakan mendengarkan keinginan saya. Juventus kembali menyamakan kedudukan dengan dua gol tambahan. Sempat sedikit tenang. Lumayan, meskipun gol penyama kedudukan juga harus diputuskan setelah melihat rekaman dari VAR.


Juventus akhirnya benar-benar unggul setelah hadir gol keempat. Namun, bukan berarti semua sudah selesai. Sekira 10 menit menjelang pertandingan usai, salah satu tulang belakang (karena mainnya di posisi belakang tentu saja) Juventus, De Ligt, harus menerima kartu merah setelah terdeteksi melakukan pelanggaran fatal di kotak penalti. Tidak usai sampai di situ. Juventus juga dihukum penalti sebagai akibat dari pelanggaran tersebut. Kembali saya terhenyak. Sebegitu sulitkah Juventus meraih 3 poin? Akhirnya, perasaan yang tidak menentu tadi mulai sirna setelah Tek alias Wojciech Szczęsny mampu menggagalkan eksekusi penalti. Juventus pun mampu membawa pulang 3 angka.


Sungguh, jatuh cinta pasti diwarnai dengan hadirnya perasaan yang tidak selalu menentu. Bahkan seorang Albert Einstein mengatakan : you can’t blame gravity for falling in love. Kita memang tidak bisa menyalahkan gravitasi yang membuat kita menjadi tertarik untuk jatuh cinta. Bagaimanapun, perasaan yang tidak menentu akan selalu menjadi warna dalam nuansa percintaan. Forza Juventus. I love you full.

Ditulis oleh Ignatius Aryono Putranto yang dapat ditemui di akun Instagram: ignatius_aryono_putranto, atau juga di Twitter: @IgnatiusAryono

JVGL

Fino alla fine, forza uhuuuy~

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *