Artikel JVGL

Juventus: Catatan Perjalanan

Penulis: Erha Ramadhoni

Bisa disapa di akun Twitter: @Erharmd

Thumbnail bikin awagan bae

Hitam putih. Warna Jersey kebesaran Juventus, klub raksasa Italia yang sudah saya gandrungi sedari kecil. Meski tak tahu kapan tanggal pastinya saya mulai menggandrungi Juventus. Jersey dengan sponsor Sony menjadi pengingat sejak kapan saya mulai mengikuti Juventus. Juventus pun seolah menjadi teman, yang menemani dan mewarnai perjalanan hidup saya.

Kesukaan saya akan Juventus berawal saat sekilas melihat pertandingannya, lupa tepatnya melawan apa. Cuma sewaktu itu yang saya ingat, ada Del Piero yang bermain jago saat itu. Dari sana, saya mulai bertanya-tanya baik soal Juventus dan Del Piero kepada ayah saya, yang menggemari Serie A.

Dari sana, saya mulai ikut mencari-cari informasi soal Juventus. Sewaktu saya kecil, rasanya cukup senang melihat foto para pemain terpampang di tabloid olahraga Bola. Tak cukup dengan itu, saya pun mulai mencari tahu ada informasi apa dari tulisan artikel tersebut. Kebetulan seingatan saya, saat itu saya sudah mulai bisa membaca. Karena itu, dengan ketertarikan saya akan Juventus menjadikan saya jadi lebih cepat lancar membaca.

Saya melihat Juventus dengan tridente Zidane, Del Piero, dan Inzaghi yang begitu nyetel saat itu. Kemenangan-kemenangan diraih berujung trofi di akhir musim.

Namun, pada musim 1998/1999 berjalan, Del Piero menerima tekel keras Valerio Bertotto yang membuatnya menderita cedera ACL. Hal ini berdampak terhadap permainan Juventus yang menjadi menurun. Puncaknya saat Juventus melawan Parma. Bianconeri kalah dengan skor 2-4, dengan hattrick dari Hernan Crespo, salah satunya bahkan dicetak dengan backheel. Usai pertandingan itu, Marcello Lippi yang sukses menghadirkan sejumlah gelar termasuk Liga Champions untuk Juventus dicopot dari jabatannya sebagai pelatih.

Musim itu saya merasa patah hati dengan Juventus untuk pertama kalinya. Pemain andalan cedera, performa tim menurun pula. Hal ini menjadi ibarat roda yang berputar.

Dari sana saya menyadari Juventus menjadi layaknya teman dari sebuah perjalanan. Ketika Juventus menang, saya ikut senang. Ketika Juventus berada dalam posisi terpuruk, saya ikut kesal dan sedih.

Teman yang selalu dinantikan kehadirannya saat akhir pekan untuk bersua. Televisi menjadi medianya. Singkat memang hanya sekitar 90 menit, tapi jika bertemu “teman” untuk bersua, rasanya cukup.

Kesukaan saya akan Juventus juga membuat suatu kebiasaan untuk saya yakni bangun saat dini hari. Hal ini berawal dari tak ingin terlewatkan menonton Juventus pada jam-jam tersebut, yang biasanya sebuah big match. Kebiasaan untuk bangun dini hari menjelang subuh ini masih bertahan hingga sekarang.

Balik lagi ke Juventus, tak butuh waktu lama untuk kembali berjaya di Liga Italia. Comebacknya Lippi mengantarkan Juventus Scudetto dua kali beruntun plus finalis Liga Champions Kesuksesan itu dilanjutkan saat Capello menjabat.

Pada era ini, gol kemenangan seakan tinggal menunggu waktu. Sebagai penonton layar kaca, cukup menyenangkan melihat Juventus menang dari sejumlah pertandingan ke pertandingan. Juventus cukup dominan di liga. Nedved, Del Piero, dan Buffon menjadi penanda era ini.

Serie B

Hal terburuk terjadi bagai sambaran petir di siang bolong dan tak terhindarkan. Juventus dihukum degradasi ke Serie B. Gelar juara Serie A pun dicopot. Kepergian pemain bintang menjadi hal tak terhindarkan. Tersisa pemain-pemain loyalitas tinggi yang kemudian melegenda di Bianconeri.

Sedih sekali rasanya saat itu. Klub yang begitu digdaya di liga, dihukum degradasi plus pengurangan poin. Belum lagi faktor-faktor eksternal seperti ledekan dari lingkungan keluarga dan rumah soal Juventus main di Serie B yang bikin menambah kecut.

Biasanya menonton Juventus, tapi tidak pada saat itu. Boro-boro menonton, untuk sekadar mencari berita tentang Juventus saja sulit. Di koran Bola, hanya ada tulisan kecil soal hasil laga dan pemberitaan Juventus.

Karena tidak berjumpa dengan “teman” seperti biasanya saat weekend, saya pun terpaksa ke warnet. Internet yang masih belum semudah diakses seperti saat ini menjadi “ruang temu” antara saya dan Juventus. Di sana saya bisa melihat sedikit cuplikan gol pertandingan Juventus. Kerinduan sedikit terobati. Ini menjadi masa-masa tersulit saya selama menjadi seorang Juventini.

Setelah melewati satu musim hukuman, Juventus berhasil promosi ke Serie A. Namun, upaya bangkit untuk langsung bisa menguasai liga tak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah melewati sejumlah musim untuk bersaing di papan atas, Juventus sempat terpuruk di posisi 7 klasemen selama berturut-turut. Selama periode itu pula, sejumlah pelatih silih berganti menjadi nakhoda. Kekalahan paling menyakitkan juga terjadi pada periode ini tepatnya 2010. Si Nyonya Tua dipermalukan Fulham 4-1 di pentas Europa League. Malam kelam yang sulit dilupakan.

Bukan Juventus namanya jika tidak bisa bangkit dari keterpurukan. Adalah Antonio Conte, mantan kapten Juventus yang berhasil membawa Bianconeri kembali juara Serie A. Gelar pelepas dahaga, sekaligus mengawali era kejayaan Juventus.

GBK

Setelah bertahun-tahun hanya menyaksikan Juventus lewat layar kaca, muncul kesempatan yang pantang dilewatkan. Ya, Indonesia menjadi salah satu tempat yang dituju dari rangkaian tur Asia Juventus.

Salah satu momen bersejarah selama saya menggemari Juventus. Saya bisa menyaksikan Buffon dkk tak lagi lewat perantara televisi! Rasa haru dan senang campur aduk setelah sekian tahun, ternyata keinginan menonton Juventus secara langsung bisa terwujud. Hal yang tampaknya juga menjadi impian para Juventini se-Indonesia.

Rekor Juara Beruntun

Selepas itu, laju Juventus di liga tak terhenti. Sejumlah rekor pun tercipta.

Mulai dari rekor poin terbanyak di Serie A dalam satu musim, gelar Coppa Italia beruntun, hingga Scudetto sebanyak 9 kali beruntun. Sebuah siklus kemenangan yang begitu fantastis. Capaian yang mungkin cukup sulit untuk diulang.

Kini, Juventus tengah sedikit terseok-seok. Gelar juara liga lepas dari genggaman dan penampilan yang bisa dibilang belum terlalu konsisten. Teranyar, Juventus harus kembali menelan pil pahit yakni “hukuman” pengurangan 15 poin, di tengah performa tim asuhan Massimiliano Allegri yang konsisten mendulang 3 poin.

Ini menjadi ketiga kalinya merasa patah hati selama menjadi Juventini. Apakah saya akan meninggalkannya? Tentu tidak. Dari saya kecil hingga kini memiliki anak kecil, Juventus telah menjadi “teman” yang menemani perjalanan hidup saya. Di saat “teman” dalam posisi sulit, tentu dukungan menjadi hal yang dibutuhkan.

Hingga kini, tinggal menunggu Juventus untuk segera bangkit dan tancap gas. Seperti yang sudah-sudah, begitu periode sulit berhasil dilalui, kemenangan dari satu pertandingan ke pertandingan menunggu di depan mata. Ya, mau bagaimanapun, Juventus tetaplah Juventus, tim raksasa Italia. Karena memang, selalu ada pelangi yang setia menunggu untuk bersinar terang di tengah badai yang menerjang. Forza Juventus!

JVGL

Fino alla fine, forza uhuuuy~