Cinta Pertama Tidak Pernah Salah
Penulis: Ignatius Aryono Putranto
Bisa disapa di akun twitter @Aryonoignatius
“First romance, first love, is something so special to all of us, both emotionally and physically, that it touches our lives and enriches them forever.” – Rosemary Rogers
Cinta itu misteri dan ajaib. Manusia rela melakukan segalanya demi cinta. Bahkan, cinta bisa menjadi candu dan orang tidak ingin terlepas dari candu itu. Cinta pertama pun tidak kalah msiteriusnya. Kutipan dari Rosemary Rogers – seorang novelis dari Inggris, yang menjadi pembuka dari tulisan ini telah mengkonfirmasi semuanya. Cinta pertama adalah hal yang sangat spesial bagi kita (manusia).
Cinta pertama yang ingin saya tulis ini bukan tentang cinta saya kepada pasangan hidup saya. Bukan. Dia bukan cinta pertama saya (tetapi meskipun demikian, saya tetap sayang dan cinta sama dia). Cinta pertama saya tertambat pada sebuah jersey berwarna hitam dan putih, yang kelak saya kenal dengan nama Juventus Football Club. Sebuah klub sepakbola asal Negeri Pizza yang sudah sangat mashyur dengan kedigdayaannya.
Saya tidak terlalu ingat, pertandingan Juventus yang pertama kali saya tonton hingga akhirnya saya bisa jatuh cinta kepada tim tersebut. Ingatan samar yang muncul adalah pertandingan Juventus vs Inter Milan di tahun 1998. Tentu saya menonton di layar kaca (bahkan sampai saat ini pun, setelah sekira seperempat abad saya menjadi Juventini, saya belum pernah menyaksikan langsung pertandingan Juventus di tanah Italia. Semoga suatu saat keinginan ini dapat tercapai) karena pada tahun tersebut, televisi adalah satu-satunya hiburan yang ada.
Menjadi seorang Juventini adalah kebanggaan bagi saya. Itulah pertama kalinya saya menggemari sepak bola dan mencintai sebuah klub sepak bola. Seperempat abad menjadi Juventini saya lalui dengan berbagai lika-liku suasana. Senang, gembira, sedih, dan susah terkadang datang silih berganti.
Cinta dan Derita
Mencintai (sesuatu atau seseorang), pasti beririsan dengan hal yang kita kenal sebagai penderitaan (dan luka). Cinta tidak melulu tentang hal yang menggembirakan. Berani mencintai berarti berani juga untuk menderita (dan terluka). Tamam dan Ahmad (2017) menyatakan hal ini dalam artikel riset mereka yang berjudul Love as a Modulator of Pain. Menurut mereka, cinta adalah bagian dari emosi, maka cinta juga dapat memodulasi rasa sakit.
Mencintai Juventus, berarti siap juga untuk menderita (dan terluka) bersama Juventus. Menikmati perjalan Juventus dalam meraih berbagai macam gelar juara tentu sangat menyenangkan. Masa-masa indah bergelimang gelar yang tentu semakin menasbihkan Juventus sebagai slaah satu klub sepak bola raksasa Italia (dan Eropa). Pemain bintang pun datang silih berganti. Dominasi seolah tak terhenti.
Sayangnya, cinta, ibarat perjalanan, memang tidak selalu mulus. Di tengah timbunan gelar juara yang diraih, beberapa kali pula Juventus mengalami penderitaan. Kasus Calciopoli yang sangat menghentak kancah persepakbolaan Italia, menyeret Juventus sebagai salah satu pesakitan (bersama dengan beberapa klub lainnya). Sanksi telah menanti. Pengurangan poin, pencabutan gelar juara, hingga turun kasta, diberikan kepada Juventus sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan.
Luka Calciopoli baru saja mengering, dan Juventus mulai menapaki perjalanan yang baru, ternyata muncul luka yang lain. Di tahun 2023 ini, ketika Juventus sedang berusaha meraih kembali hegemoni mereka sebagai klub sepak bola terbaik di Italia, hantaman dugaan pelanggaran administrasi dan keuangan bergulir kembali. Sanksi yang baru juga telah menanti.
Sungguh sangat menyakitkan melihat Juventus harus mengalami ini semua. Gelar juara belum lagi diraih, hantaman kasus datang bertubi-tubi. Tetapi sekali lagi, cinta dan derita saling terkait satu sama lain. Chu Pat Kay pernah berkata: “dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada pernah berakhir”. Karena saya sudah sangat mencintai Juventus, maka saya juga harus bisa menerima derita yang dirasakan oleh Juventus. Bagaimanapun, bagi saya, Juventus adalah cinta pertama saya yang abadi. Berani mencintai, maka berani menderita (dan terluka). Jangan lupa untuk bangkit kembali ya, cinta pertamaku. Aku percaya bahwa cinta pertama tidak pernah salah. Forza Juve.