Artikel JVGL

Perjalanan Mencintai dalam Hitam Putih: Juventus dengan Segala Pesonanya

Penulis: Rindi Handayani S

Bisa ditemui di akun Twitter: @Indierhs

Mencintai Juventus itu sulit, tapi sekali kau mencintainya, kamu akan menjadi juventino selamanya” ungkap salah satu legenda sepak bola dunia yang juga legenda Juventus, Zinedine Zidane suatu ketika. Legenda sepak bola yang bersama Juventus berhasil menyabet dua Scudetti di antara tahun 1996 hingga 2001. Selain itu, dia juga mempersembahkan UEFA Super Cup, Suppercopa, dan sederetan prestasi pribadi yang gemilang seperti meraih Ballon dÓr di tahun 1998 serta FIFA World Player of the Year 1998.

Ungkapan manis seorang legenda yang seolah metafora, tapi nyata adanya. Juventus memiliki magnet kuat dalam menjaga kharisma, membuat siapapun yang jatuh cinta padanya, akan bertahan dalam hitam dan putih kisah yang ditawarkannya, entah pilu ataupun bahagia.

Bagi seorang wanita seperti saya, mencintai Juventus sebetulnya bukan hal sulit, Juventus dipenuhi bintang yang dengan mudah akan digandrungi oleh kaum kami pada saat itu, Zidane, Inzaghi, Del Piero juga sederet pemain hebat (dan tampan) lainnya, dan saya memilih kiper terhebat sepanjang masa (dan tentunya tampan), Gianluigi Buffon untuk mewakili alasan itu.

Banyak kenangan yang tercipta dalam mencintai Juventus, turun naik perasaan hingga merasakan kehilangan. Entah kapan tepatnya, tapi Juventus menjadi tempat awal saya mempelajari sepak bola, memahami apa itu offside dan istilah sepak bola lainnya, menghafal banyak pemain dan klub sepak bola. Bangun tengah malam untuk menonton pertandingannya. Iya, cinta memang membuat seseorang berusaha.

Pertemuan secara langsung saya dengan Juventus terjadi di tahun 2014, Juventus berkunjung ke Jakarta untuk menjalani laga uji coba melawan Indonesia Selection di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Saya adalah satu dari ribuan penggemar Juventus yang mungkin menjadikan momen itu adalah salah satu momen paling berharga sepanjang hidup. Bagaimana tidak, dapat melihat Juventus (dan tentunya Buffon) bermain langsung. Masih teringat dengan jelas setiap perasaan yang tercipta saat itu, haru hingga air mata tumpah melebur dengan sorak bahagia. Sebuah kebanggaan bagi saya sebagai penggemar dapat hadir secara langsung dalam pertandingan itu.

Secara pribadi, pertandingan yang sulit saya lupakan dari Juventus adalah final Liga Champions 2016/2017 saat Juventus berjumpa Real Madrid. Bagaimana bisa lupa karena di laga itu, La Vecchia Signora kebobolan banyak gol, dan kalah. Apalagi pertandingan tersebut ramai diberitakan sebagai partai terakhir Buffon dengan seragam Juventus.

Saat itu, Buffon terlihat sangat kecewa dengan kekalahan itu hingga menitikkan air mata. Saya patah hati melihat Buffon menampakkan sesuatu yang selama ini jarang terlihat di media. Mood saya pun berantakan selama satu pekan kemudian. Rasanya persis ditinggal pacar tanpa penjelasan ketika lagi sayang-sayangnya.

Sebagai penggemar Juventus, merasakan bahagia kemudian patah hati setelahnya adalah hal biasa. Bagaimanapun juga, kami pernah melewati kisah paling seram dalam dunia sepak bola: Degradasi. Sulit bagi saya untuk mempertahankan rasa cinta kepada Juventus saat itu. Namun apa daya, cinta memang tidak pernah masuk akal, dan saya tetap di sini hingga saat ini, menikmati kisah hitam dan putih yang disuguhkan oleh tim dengan 56,6M follower di Instagram ini.

Banyak bahagia yang Juventus tawarkan, saya bangga mencintai tim ini, hingga saat ini dan hingga nanti. Forza Juventus!

JVGL

Fino alla fine, forza uhuuuy~