Artikel JVGL

Di Balik Musim yang Berantakan, Ada Juventus yang Merayakan

Ilustrasi: Burung_Kondor

“Gini amat juara 9x beruntun”

“Sekelas Juventus merayakan lolos UCL”

“Buat masuk UCL aja mesti nunggu hasil pertandingan lain”

“Juventus kok ngincer Coppa”

Begitulah komentar orang-orang, termasuk Juventini sendiri ketika mendapati timnya merayakan kelolosan Liga Champions. Buat apa dirayakan selebay itu? Wong setiap tahun juga lolos UCL. Tidak salah memang, tapi cobalah kita melihat lebih dalam lagi. Kenapa dirayakan seperti itu, mungkin belum sadar saja bahwa musim ini memang musim yang sangat berat. Luangkan waktu 10-12 menit untuk membaca tulisan yang cukup panjang ini.

Kita semua sepakat bahwa Juventus musim ini begitu berantakan. Dibilang gagal total enggak juga, soalnya masih bisa dapat gelar Super Coppa dan Coppa Italia. Satu-satunya kegagalan adalah karena gagal mempertahankan Scudetto. Kalau gagal di Liga Champions, bukankah tiap tahun kita selalu gagal? Fufufu.

Jika kita hanya melihat pertandingan demi pertandingan, tentu kita akan mendapati kekesalan saat melihat para pemain Juventus yang enggak punya passion dan keseringan backpass, pelatih newbie yang tiap pertandingan selalu coba-coba, hingga tak dapat dipungkiri ada unsur buruknya kinerja wasit di beberapa laga.

Untuk hal terakhir, tak usah dibahas lebih lanjut. Kita bukan bermental seperti fans tetangga yang sibuk terus bicara wasit. Meski musim ini kita kena 9 penalti, serta 6 kartu merah alias yang terbanyak di Seri A musim ini, tapi tidak perlulah bahas itu. Anggap saja memang tingkat kedisiplinan Juventus sangat parah.

Musim ini memang musim yang berantakan. Berantakan di segala aspek. Itu mulai dari persiapan musim ini yang berantakan karena kita hanya punya 1 pertandingan pramusim lawan Novara. Hebat betul Juventus, dengan pelatih baru dan 6 pemain anyar hanya punya 1 pertandingan pramusim. Habis itu langsung ketemu Sampdoria dan AS Roma di Serie A. Bandingkan dengan Milan dan Inter Milan jauh lebih siap menyiapkan pramusim, bahkan fondasi tim asuhan Antonio Conte tidak banyak berubah dari musim lalu. Wajarlah kita kalah karena memang kita tidak menyiapkan musim ini dengan baik. Giornata kedua sudah berjalan, Juve masih sibuk datangkan pemain.

Aspek lainnya yang berantakan adalah tata kelola pelatih lejen Andrea Pirlo yang kurang menyiapkan timnya dengan baik. Musim ini kita banyak kebobolan dari hal-hal mendasar yang biasa dilakukan anak-anak SSB. Masalah permainan yang belum stabil masih bisa dimaklumi karena dia baru jadi pelatih. Namun salah umpan, backpass Bentancur dan Kulusevski, tendangan bebas tidak siap, kartu merah, handball, sampai bikin pelanggaran tak penting di kotak penalti seperti mengeplak wajah lawan, harusnya bisa ditangani dengan baik, apalagi itu berkali-kali terjadi. Itu pertanda bahwa Pirlo belum bisa memperhatikan hal-hal detail dan kurang jam terbang.

Penampilan klub berjuluk Si Nyonya Tua tersebut juga tidak konsisten, sering menang dengan mencetak tiga gol. Tapi, kalau lagi buntu muter-muter saja macam ojol nyari alamat hingga banyakan serinya. Banyak kepeleset dari tim-tim kecil akibat kebodohan sendiri. Menang beruntun paling banter tiga kali saja. Belum bisa sampai lima kali atau bahkan kayak pendahulunya Massimiliano Allegri bisa sampai 12 kali kemenangan beruntun. Masak lawan tim kayak Benevento saja enggak bisa menang sama sekali. Mentalnya bener-bener sudah kena.

Namun, jangan bersedih. Musim yang berantakan ini bukan cuma milik Juventus seorang. Hampir semua tim elite Eropa juga struggle musim ini. Saya memang menyebutnya musim yang epic. Kok bisa Manchester City dibantai Leicester, Liverpool dibantai Aston Villa, MU dibantai Tottenham, bahkan seonggok Bayern Muenchen pun dibantai Hoffenheim, serta mendapati PSG kalah sampai 8 kali musim ini di Ligue 1.

City di awal musim sempat ada di papan tengah. Begitu juga MU di posisi lebih bawah lagi. Barcelona juga sama. La Liga bahkan sempat dipimpin Real Sociedad. Inter yang stabil di Serie A, tiarap di Liga Champions. Meski demikian, City bisa bangkit dan sukses jadi juara berkat kematangan Pep Guardiola dan kesolidan skuatnya. Bedanya dengan Juve, pelatihnya masih bingung gimana caranya naikin mental pemain dan gimana caranya supaya enggak kebanyakan backpass yang sudah mendarah daging dari zaman Allegri.

Bisa dikatakan, selain faktor internal seperti persiapan yang kurang dari manajemen, pengelolaan yang kurang dari pelatih newbie, serta mental para pemain yang bapuk, tentu ada faktor eksternal yang menjadikan musim Juventus semakin berantakan. Bahkan, faktor eksternal ini yang sebenarnya jadi trigger-nya.

Covid-19 membuat musim ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena kita melaluinya secara penuhdi masa pandemi. Hampir tidak ada suporter di stadion sama sekali, jadwal yang begitu padat main Liga Champions seminggu sekali, belum termasuk pertandingan international break. Bahkan dalam sebulan kita memainkan 6-8 pertandingan atau seminggu tiga kali, sudah seperti pelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Kita yang nontonnya saja sampai capek. Akhir pekan begadang, tengah pekan begadang lagi.

Covid-19 memang benar-benar menyusahkan. Bukan cuma mengubah tatanan hidup sehari-hari, tapi mengubah tatanan hidup sepak bola kita. Musim lalu ditunda empat bulan, membuat musim 2019/20 berakhir telat. Bulan Agustus baru berakhir, padahal biasanya klub lagi sibuk menjalani laga pramusim bahkan kompetisi baru sudah dimulai.

Akibatnya, start musim 2020/21 menjadi mundur. Akhir September baru dimulai dan lucunya tetap berakhir di bulan Mei. Jika biasanya kita mengarungi satu musim dengan 9 bulan (Agustus-Mei) musim ini kita hanya 8 bulan (September-Mei). Kebayang kan, betapa jadwal begitu dipadatkan secara paksa. Puncaknya, bulan Desember-Januari-Februari kita bermain 7-8 pertandingan dalam sebulan, apa tidak mampus. Belum lagi banyak pemain yang kena Covid-19 sehingga harus absen sampai 2 pekan. Merepotkan sekali.

Covid-19 juga membuat keuangan Juventus menjadi krisis. Ketika musim ditunda 4 bulan, para pemain sampai rela dipotong gajinya demi menyelamatkan finansial timnya. Begitu musim 2019/2021 berakhir, Juventus mencatatkan kerugian 89,7 juta euro atau sekitar Rp1,2 triliun, di mana 39 jutanya berasal dari laporan finansial 2018/19. 

Besar kemungkinan, meski tidak valid, Juve tidak punya uang untuk menyiapkan musim 20/21. Loh Juve tetep bisa mendatangkan pemain tuh? Jangan bersedih. Semua mercato Juve musim panas kemarin tidak keluar uang dalam jumlah signifikan. Arthur dibarter Miralem Pjanic, Morata dan McKennie hanya pinjam, Chiesa dibayar nyicil sampai lima kali. Sedangkan Kulusevski dibeli Juve ketika Januari 2020 sebelum pandemi. Praktis, Juve tidak mengeluarkan banyak uang saat bursa transfer musim panas kemarin, kecuali cuma buat bayar-bayar transfer fee saja.

Selain datengin pemain tanpa mengeluarkan cash banyak, Juve juga melakukan pengiritan. Jual pemain di musim pandemi itu susah. Pengennya Douglas Costa, Gonzalo Higuain, dan Blaise Matuidi itu dijual saja. Namun tak semudah itu, Ferguso. Dalam ilmu bisnis, beli atau bikin mah gampang, jualnya yang susah. Ini yang menjadi hambatan Juve dalam mendapatkan fresh money musim panas lalu. Akibatnya, Juve ambil jalan singkat saja. Pinjamkan ke klub lain, bahkan ada yang terminate contract supaya enggak bayar gaji mahal macam Higuain.

Lagi di tengah pengiritan, masalah baru muncul. Maurizio Sarri bikin ulah dengan membuat ruang ganti jadi tak kondusif. Dia katanya suka memaki pemain yang membuat personel tim jadi risih. Bahkan Sarri menuding ada beberapa pemain Juve yang “tidak bisa dilatih” atau untrainable.

“Apa yang masih mengecewakan saya sampai hari ini adalah Sarri tidak mempercayai pemain-pemainnya dan itu mengganggu saya. Cara dia salah menilai orang masih jadi aspek terburuk,” kata Pjanic ketika itu.

Banyak yang bilang, Sarri bikin skuat Juve jadi berantakan. Emre Can dan Mario Mandzukic jadi korban pembuangan. Begitu juga Pjanic. Belum lagi mendapati Danilo dan Aaron Ramsey yang dalam keadaan tidak bugar mungkin karena terlalu beratnya latihan Sarri, yang sebelumnya juga pernah dikeluhkan para pemain Chelsea dan Napoli. Akibatnya, Sarri terpaksa dipecat. Lebih baik mempertahankan beberapa pemain yang sudah lama di Juventus ketimbang memilih satu orang baru yang dianggap jadi biang masalah. Risikonya, soliditas pemain juga jadi berantakan. Tiga musim ganti tiga pelatih, baru nyetel sudah ganti gaya permainan lagi.

Yang bikin sedih, Juve mau tidak mau mesti membayar kompensasi hingga 20 juta euro kepada Sarri. Gile bener! Di saat lagi pengiritan begini mesti pake disuruh keluar duit kompensasi 20 juta euro. Tapi ya mau gimana. Manajemen tidak punya pilihan lain, daripada pemain Juvenya ngambek semua bikin musim ini semakin hancur. Padahal Sarri tidak sepenuhnya gagal. 

So, jangan harap nama-nama pelatih besar seperti Mauricio Pochettino, apalagi Zinedine Zidane atau Pep Guardiola didatangkan Juve mengingat gajinya selangit. Gajinya Allegri saja sudah 7,5 juta euro, lebih mahal dari Sarri yang 6 juta euro semusimnya. Juve tidak punya pilihan selain merekrut pelatih kelas menengah karena tidak punya duit. Salah satu nama yang muncul Luciano Spalletti yang terakhir mendapat gaji 4 juta euro per musim. Di tengah pusingnya Agnelli, tahu-tahu muncul nama baru yakni Andrea Pirlo.

Pelatih berewok itu muncul dan ditunjuk jadi pelatih U-23. Tentu saja ide mengangkat Pirlo jadi pelatih utama kian menarik mengingat Pirlo sudah familiar dengan kondisi Juventus, disayang fans, dan tentu saja: Gajinya murah, hanya 1,8 juta euro! Alasan terakhir sepertinya jadi alasan paling kuat mengingat Juve yang sedang ngirit.

Seperti yang sudah dijelaskan tadi, Pirlo adalah salah satu pihak yang bikin musim ini berantakan. Namun, dia juga melatih dalam kondisi Juventus yang berantakan sepeninggal Sarri. Musim lalu, Juve masih enak punya gelandang macam Pjanic, Khedira, dan Matuidi. Ketiga pemain itu juga jadi andalannya Allegri sebelumnya. Bentancur dan Rabiot masih jadi andalan tapi di bangku cadangan. Bentancur mulai main reguler ketika Khedira memulai cedera panjangnya di bulan Desember.

Pjanic adalah seorang finalis UCL, Matuidi seorang juara dunia, bahkan Khedira seorang juara UCL dan juara dunia. Mental dan kematangan ketiganya tidak perlu diragukan. Sehancur-hancurnya dribble Matuidi dan kita menertawainya, tetap saja dia seorang juara dunia. Dia jadi pemain andalan Didier Deschamps di semifinal dan final Piala Dunia 2018, bukan sekadar pelengkap bangku cadangan macam Benjamin Mendy.

Ketiga pemain itu tidak ada dalam skuat Pirlo. Sebagai gantinya Pirlo disuguhi Bentancur dan Rabiot yang naik jabatan jadi pemain inti secara alamiah. Arthur yang digadang-gadang jadi pengganti Pjanic, ternyata kemampuannya cuma bisa passing-passing pendek saja. Giliran passing jauh ke depan enggak sampe, kepotong pemain Benevento. Ramsey juga kebanyakan cedera. Sedangkan McKennie masih belum ranum.

Selain materi pemain tengah yang mengalami penurunan, jumlah pemain secara kuantitas juga mengalami penurunan. Bagaimana mungkin, Juventus yang mengarungi tiga kompetisi dalam delapan bulan yang begitu padat jadwalnya, cuma punya 22 pemain saja!

Iya, musim ini kita hanya memiliki 22 pemain senior, itu juga termasuk Gianluca Frabotta si anak bawang. Jumlah tersebut merupakan paling sedikit dari seluruh kontestan Seri A. Idealnya, dalam satu musim memang diisi 25-26 pemain, Benevento saja bahkan sampai 30 pemain. Juve pada musim-musim sebelumnya juga 25-26 pemain. Tapi musim ini? Cuma 22 pemain. Taruhlah ditambah Fagioli dan Dragusin jadi 24 pemain, tetap saja masih kurang. Pemain yang keluar macam Rugani, Mandzukic, dan Emre Can ternyata tidak ada gantinya. Mungkin ini juga bagian dari pengiritan, menyedihkan sekali. “Kalau kurang pemain ambil saja dari U-23” begitu pikir manajemen.

Musim ini, jumlah bek tengah kita cuma 4 pemain (biasanya 5 pemain), jumlah gelandang tengah (MC/DM) hanya 5 pemain (biasanya 6-7 pemain), dan striker cuma 3 pemain (biasanya 4 pemain). Jadi jangan heran kalau Danilo dijadikan bek tengah sampai gelandang bertahan, bahkan Lord Bernardeschi dijadikan bek kiri.

Apa yang terjadi berikutnya? Nama-nama pemain dari U-23 menghiasi bangku cadangan Juventus di banyak laga. Bukan cuma 1-2 pemain, melainkan 4-5 pemain! Pernah nih ya, Juve main lawan Lazio di bangku cadangannya ada Fagioli, Di Pardo, Dragusin, Daouda Peeters, Marley Ake, sampai Davide De Marino. Ada enam pemain U-23 masuk bangku cadangan Juve buat melawan tim seperti Lazio! Saking segitunya kita kekurangan pemain. Bagaimana mau berpikir taktik dan rotasi, kalau pilihan di bangku cadangan Pinsoglio-Bernardeschi lagi Pinsoglio-Bernardeschi lagi.

Kita kira pada musim dingin bakal nambah pemain. Oo tentu saja tidak. Pengiritan adalah rumus Juventus musim ini. Manuel Locatelli atau Aouar cuma angan-angan saja. Mungkin datangnya masih nanti-nanti, nunggu duit cash dari Exor. Barangkali.

Celahnya bukan hanya kualitas dan kuantitas pemain, tapi juga adanya gap yang terlalu jauh antara pemain senior dan pemain junior. Bisa dibilang Juve sedang dalam peralihan. Ada pemain-pemain muda di bawah 24 tahun yang sudah menjadi pemain inti macam De Ligt, Chiesa, Kulusevski, McKennie, dan Bentancur. Namun, gap dengan pemain senior terlalu jauh.

Cuadrado, Bonucci, Chiellini, Ronaldo, bahkan Buffon usianya sudah susah dikejar. Duet CB Bonucci-Chiellini usianya 34-36 tahun, terpaut lebih dari 10 tahun dari penerusnya, De Ligt-Demiral yang berusia 21-23 tahun. Pemain junior disuruh main bareng pemain senior yang kelewat tua, bukan sebuah ide yang bagus.

Musim ini, Juve tak punya banyak pemain matang. Yang Juve punya sebagian besar di bawah 24 tahun dan di atas 31 tahun. Terhitung hanya Morata, Dybala, Danilo, Ramsey, Bernardeschi, dan Alex Sandro yang berada dalam usia matang 27-30 tahun. Ya tambah Rabiot boleh deh 26 tahun, meskipun itu juga baru ultah April kemarin. Namun pemain-pemain matang itu yang harusnya diandalkan dan dijadikan link antara pemain muda dan pemain tua, ternyat malah tuman. Dybala kebanyakan galau sama ceweknya, Ramsey kebanyakan cedera, Sandro kebanyakan mikirnya, Bernardeschi entah ada masalah apa dalam hidupnya.

Alhasil, bersama guru Penjas berkedok pelatih tanpa pengalaman, bersama duet maut Bentancur-Rabiot yang bikin maut ke tim sendiri, dengan jumlah pemain yang pas-pasan, tanpa pramusim yang cukup, jadwal yang padat, ditambah bayang-bayang penundaan pembayaran gaji, lengkap sudah musimnya Juve yang berantakan ini.  

Lalu muncul pengandaian, kalau saja memecat Pirlo dari bulan Januari pasti enggak akan begini. Sayangnya Juve tidak punya alasan memecat Pirlo di bulan Januari-Februari. Soalnya, bulan Januari “Bang Berewok” menunjukkan progress yang sangat pesat. Dapat 9 kemenangan dari 10 laga, juara Super Coppa, ditutup masuk final Coppa. Kalau dipecat justru jadi tanda tanya. Belum lagi mesti siapin uang lagi untuk gaji pelatih baru. Juve tidak bisa meniru Chelsea yang bisa seenak jidat ganti pelatih mahal.

Bulan Maret juga masih baik-baik saja di mana kita masih bisa menang 3 gol lawan Spezia, Lazio, Porto, dan Cagliari. Sayangnya habis itu kalah dari Benevento yang punya damage gede banget dan memengaruhi 8 pertandingan selanjutnya. Sampai akhirnya Juve bisa stabil lagi di akhir musim dengan memenangi 4 laga pamungkas.

Musim ini memang terlihat gagal secara kasatmata, karena ya memang kita gagal Scudetto. Namun dengan segudang permasalahan dan faktor-faktor di atas, mendapat dua trofi Coppa Italia dan Super Coppa tidaklah buruk, kan? Wajarkah kalau kita rayakan?

Kalau mau dilihat angka lebih jauh, musim ini Juve tidak seburuk itu kok. Kita memang cuma berada di peringkat keempat dengan 78 poin, berkurang lima poin dari musim lalu. Namun secara kompetisi, Juve masih on the track. Jarak dengan Milan di posisi kedua cuma kalah satu poin. Ini artinya kompetisi Seri A semakin tinggi di mana Inter, Milan, dan Napoli memiliki jumlah poin jauh lebih banyak dari musim lalu. Jarak antara peringkat 2 dengan peringkat 5 cuma dua angka. Bandingkan dengan Liga Primer yang bedanya 8 angka, runner-up-nya saja tidak sampai 75 poin.

Secara produktivitas, Juve mencetak 77 gol di Serie A musim ini. Merupakan catatan tertinggi ketiga dalam 10 musim terakhir. Artinya, Juve cukup produktif musim ini bila dibandingkan musim-musim sebelumnya. Jangan lupa, Juve juga banyak menang dengan skor tiga gol atau lebih. Musim ini, Juve menang telak dengan skor tiga gol atau lebih (3-0, 3-1, 4-0, 4-1) itu banyak banget, sampai 15 kali. Musim lalu cuma 7 kali, begitu juga musim sebelumnya bersama Allegri juga cuma 7 kali.

Kemudian dari sisi pertahanan, Juve memang jarang cleansheet. Di Seri A cuma delapan kali cleansheet, bahkan 14 laga terakhirnya selalu kebobolan. Terakhir kali cleansheet itu tertanggal 2 Maret 2021 lawan Spezia. Namun kalau dihitung kebobolannya 38 gol, itu merupakan terendah kedua setelah Inter (35 gol). Angka itu perbaikan dari musim lalu kebobolan 43 gol, meski dengan catatan Juve sudah mengunci gelar di pekan ke-36 sehingga dua laga terakhir terkesan main-main. Satu hal positif lainnya, musim ini kita mampu mengalahkan semua tim besar mulai dari Inter, Milan, Atalanta, Napoli, Lazio, dan Roma.

Secara keseluruhan, Juve mencatat persentase kemenangan 65,38 persen musim ini, itu angka yang sama dengan musim lalu. Bedanya, yang satu dapat Scudetto yang satu dapat Coppa Italia dan Super Coppa. Bagi Pirlo, sebagai pelatih baru dapat ijazah angka tersebut terbilang wow. Biasanya pelatih-pelatih baru persentase kemenangannya tidak lebih dari 50%. Meski Pirlo jelas dapat privilege karena tim yang dilatih ada Ronaldonya.

Jadi saya rasa, hasil ini adalah hasil terbaik di musim yang terburuk dalam 10 musim terakhir. Buruknya bukan hanya kesalahan dari manajemen, pelatih, dan pemain, tetapi juga karena terpengaruh pandemi yang bikin segalanya makin berjalan buruk. Rencana-rencana korporasinya Agnelli jadi berantakan, duit pun menghilang.  

Satu lagi, jangan lupa sejarah. Juve punya siklus 10 tahunan di mana selalu punya satu musim yang bapuk dalam satu dekade dan itu biasanya terjadi di awal atau akhir dekade. Contohnya musim 1991 (peringkat 7), 1999 (peringkat 7), 2010 dan 2011 (peringkat 7), dan mungkin 2021 (peringkat 4), atau malah lebih buruk lagi di 2022? Amit-amit. Semoga 2021 ini sudah yang paling buruk dalam dekade 2021-2030.

Banyak yang bilang, musim ini Juve dianggap gagal dan hancur karena sebelumnya langganan Scudetto apalagi ada Ronaldonya. Masak punya Ronaldo, mau lolos UCL saja mesti ngemis-ngemis sama Verona. Tapi lebih hancur mana dengan musim 1991? Baru juara UEFA dan punya pemain termahal di dunia, Roberto Baggio, tapi finis di posisi 7. Lebih hancur mana sama musim 1999? Tiga kali berturut-turut masuk final UCL, punya Zinedine Zidane seorang juara dunia, tapi jeblok sampai ke posisi 7. Jangan pura-pura lupa.

Kita terima saja memang ini siklusnya Juve yang sedang jeblok. Namun biasanya, di tengah dekade Juve mampu bangkit. Final UCL beberapa kali terjadi di tengah dekade seperti 1985, 1996, 1997, 2003, 2015, dan 2017. Sepertinya memang ini jadi siklus langganan Juventus. Awal/akhir dekade jeblok karena sedang peralihan, tengah dekade sudah matang. Ya semoga saja musim 2024/25 Juve bisa juara Liga Champions. Mimpi saja dulu, realita belakangan.

So, cibiran-cibiran “Sekelas Juventus merayakan lolos Liga Champions” mungkin karena belum merasakan sense of crisis di tubuh Juve musim ini di segala aspek. Jika kita punya skuat yang sama, pelatih yang sama dengan musim 2017-2018, sedang dalam kondisi normal, didukung penonton di stadion, boleh lah kita mencibirnya.

Namun dengan segala situasi yang “berbeda” dan banyaknya masalah di Juventus, ditambah tekanan besar dari fans, naik-turunnya performa, tampaknya wajar kalau para pemain Juve merayakan kelolosan UCL mereka. Harusnya kita bersyukur masih dapat hasil seperti ini. Toh, seburuk-buruknya Juve tetap masih dapat 2 gelar, Ronaldo pun jadi Capocannoniere, dan Bernardeschi mewarnai rambutnya. Sebuah akhir yang happy ending!

Berikutnya bagaimana? Buffon pergi, Chiellini mungkin pergi, dan giliran pemain muda yang mentas. Jika disiapkan dengan baik dan waktu yang cukup, ditangani oleh seorang yang ahli, diisi dengan pemain-pemain mumpuni, serta jajaran direksi yang lebih segar, kita bisa berharap pada Juve era baru.

Ditulis Oleh

Paundra Jhalugilang

Fans Juve dengan analisis tajam dengan menyandang nama Juve di akun Twitternya. @PaundraJuve

JVGL

Fino alla fine, forza uhuuuy~

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *